Selasa, 17 Juli 2012

Tour de Planetarium: Hisab atau Rukyat?

Meski sebagai founder blog Astro-Traveling INDONESIA, saya ini masih newbie. Maka, kali ini saya akan menggunakan sepeda menuju Planetarium di Cikini-Jakarta Pusat dari Pondok Aren-Tangerang Selatan. Barangkali terdengar gila, tapi sebenarnya ini adalah cara sederhana untuk melakukan hal yang luar biasa. Ingat juga, astro-traveling memang traveling yang sederhana tapi luar biasa dan mementingkan tujuan yang utama.
Sumber foto: mbramantya.wordpress.com

Kebetulan hari ini, Sabtu 14 Juli 2012, Himpunan Astronom Amatir Jakarta (HAAJ) mengadakan pertemuan rutin dengan tema Hisab dan Rukyat. Saya pikir, ini adalah ilmu yang penting mengingat seringnya terjadi perbedaan hari puasa dan idulfitri di Indonesia. Jadi, kita tidak asal mengikuti pemerintah atau ormas tertentu. Kita perlu tahu ilmunya. Maka, astro-traveling kali ini bertujuaan mulia untuk menuntut ilmu tentang hisab rukyat dalam kaitannya dengan penentuan awal Ramadhan dan Idulfitri 1433 H.

Maka, melajulah saya dari jalan Ceger menuju Ulujami dan akhirnya sedikit mengikuti jalur Metromini 71. Sebenarnya saya tidak tahu jalan yang paling cepat menuju Cikini. Tenang saja, sebagian otak laki-laki adalah peta (haha). Maka, saya menuju Senayan. Nah, dari sini, saya harus selalu mengarahkan perjalanan ke timur. Dan, saya berputar-putar di kawasan Kemang, Senopati, Mampang, dll. Modal yang saya miliki antara lain pengetahuan bahwa Cikini ada di sebelah utara Manggarai. Tentang arah, saya berpedoman matahari. Secara umum, bayangan benda akan berada di timur karena waktu itu sudah lewat tengah hari.

Setelah dua jam perjalanan, akhirnya saya menemukan jalur kereta api Gambir-Manggarai. Yap. Tinggal sejengkal lagi. Sampai di Planetarimum, akhirnya saya terlambat 1 jam mengikuti pertemuan yang sedianya dimulai pukul 16.00 ini. Untunglah ada handout yang bisa saya pelajari. Dan inilah apa yang saya dapatkan dari presentasi Pak Cecep Nurwendaya, M.Si., anggota Badan Hisab Rukyat Kemenag RI.

Kajian Hisab-Rukyat

Taqwim (Kalender) Standar Indonesia berdasarkan hisab (perhitungan ilmu falak atau astronomi).

  • Mengacu: Sistem Hisab hakiki komtemporer yang berpedoman pada ufuk Mar'i dengan menggunakan kriteria MABIMS:
    • Tinggi hilal minimum 20
    • Jarak dari matahari minimum 30
    • Umur bulan dihitung saat ijtimak atau bulan baru atau bulan dan matahari segaris bujur saat matahari terbenam, minimal 8 jam
  • Memakai hasil hisab untuk tempat markas hisab:
    • Pos Observasi Bulan(POB) Pelabuhan Ratu - Sukabumi
  • Sistem Hisab Rujukan Pokok Departemen Agama RI: Ephemeris Hisab Rukyat
  • Koreksi Taqwim Standar Indonesia dilakukan jika hasil Sidang Itsbat berbeda dengan penanggalan Taqwim Standar.

Pengertian Hisab dan Rukyat
Hisab adalah perhitungan astronomis menentukan awal bulan qomariah (hijriyah).
Rukyat adalah pengamatan (observasi) hilal menentukan awal bulan qomariah(hijriyah).

Ijtima' (bulan baru/new moon, konjungsi, lunasi) adalah pertiwa swgaris/sebidangnya pusat bulan dan matahari dari pusat bumi.
  • Bulan dan matahari memiliki bujur wkliptika (bujur astronomi) yang sama.
  • Fraksi illuminasi(pencahayaan) bulan minimum.
  • Posisi Istimewa saat ijtima’ berlangsung gerhana matahari.
  • Ijtima’ berlangsung bersamaan di seluruh tempat di permukaan bumi.

Awal Bulan(New Month) penanggalan hijriyah.
  • Awal bulan (tanggal 1 bulan hijriyah) menandai awal penanggalan.
  • Awal bulan ditentukan pada setiap ghurub tanggal 29 bulan hijriyah. (dalam kalender hijriyah awal tanggal dimulai saat Matahari terbenam atau ghurub).
  • Jika pada saat ghurub tgl. 29 bulan hijriyah ijtima’ belum terjadi, secara astronomis keesokan harinya tgl. 30 di bulan yang sedang berlangsung.
  • Jika pada saat ghurub tgl. 29 bulan hijriyah ijtima’ sudah terjadi, tinggi hilal negatif maka keesokan harinya tgl. 30 di bulan yang sedang berlangsung.
  • Jika pada saat ghurub tgl. 29 bulan hijriyah ijtima’ sudah terjadi, tinggi hilal positif
maka penentuan awal bulan berdasarkan kriteria awal bulan. Jika memenuhi kriteria keesokan harinya tgl. 1 bulan baru. Jika tidak memenuhi, keesokan harinya tgl. 30 di bulan yang sedang berlangsung.

DASAR KRITERIA IMKANURUKYAT 20
Hilal Syawal 1404 H. tinggi 20, ijtima’ terjadi jam 10.18 WIB, 29 Juni 1984
Dilihat oleh:
  1. Muhammad Arief, 33 tahun. Panitera Pengadilan Agama Pare-pare.
  2. Muhadir, 30 tahun. Bendahara Pengadilan Pare-pare.
  3. H. Abdul Hamid, 56 tahun, Guru Agama Jakarta.
  4. H. Abdullah, 61 tahun, Guru Agama Jakarta.
  5. K. Ma’mur, 55 tahun, Guru Agama Sukabumi.
Endang Effendi, 45 tahun, Hakim Agama Sukabumi.

POSISI HILAL DI PELABUHAN RATU - SUKABUMI
KAMIS, TGL. 19 JULI 2012 / 29 SYA’BAN 1433 H.
Tinggi / Irtifa’ hilal Lower limb     = 1,24 derajat
Tinggi / Irtifa’ hilal Pusat bulan     = 1,46 derajat
Tinggi / Irtifa’ hilal Upper limb     = 1,69 derajat
Jarak busur Bulan dari Matahari     = 4,64 derajat.
Umur hilal             = 6 Jam 28 menit 32 detik
Illuminasi hilal             = 0, 22 %,

POSISI HILAL DI PELABUHAN RATU - SUKABUMI
SABTU, TGL. 18 AGUSTUS / 29 RAMADLAN 1433 H.
Tinggi / Irtifa’ hilal Lower limb     = 6,65 derajat
Tinggi / Irtifa’ hilal Pusat bulan     = 6,91 derajat
Tinggi / Irtifa’ hilal Upper limb     = 7,17 derajat
Jarak busur Bulan dari Matahari     = 9,73 derajat.
Umur hilal             = 18 Jam 59 menit 35 detik
Illuminasi hilal             = 0, 95 %.

REFERENSI EMPIRIS ASTRONOMIS :
LIMIT DANJON : Hilal akan tampak jika jarak sudut bulan matahari lebih besar dari 7 derajat. ( Odeh, 2004, Islamic Crescent Observation Project (ICOP) menemukan limit Danjon = 6,4 derajat ).


Konferensi Penyatuan Awal Bulan Hijriyah International di Istambul tahun 1978:
Awal bulan dimulai jika jarak busur antara bulan dan matahari lebih besar dari 8 derajat dan tinggi bulan dari ufuk pada saat matahari tenggelam lebih besar dari 5 derajat.

Rekor pengamatan bulan sabit dalam catatan astronomi modern:
Hilal Ramadlan 1427 H., umur 13 jam 15 menit dipotret dengan teleskop & kamera CCD di Jerman.

Demikianlah materi yang saya ambilkan dari handout presentasi beliau.

Masalah perbedaan hari awal Ramadhan dan Idulfitri yang biasanya terjadi hanyalah masalah kriteria hilal yang digunakan oleh masing-masing kelompok dan pemerintah. Menentukan awal bulan Ramadhan dan Idulfitri dengan cara hisab dengan berbagai metode dan dengan cara rukyat sebenarnya akan diperoleh hasil yang sama, jika menggunakan kriteria hilal yang sama.

Yang jelas, tidak mungkin bagi Indonesia untuk MENGIKUTI keputusan yang diambil ARAB SAUDI. Banyak sebabnya, di antaranya adalah posisi Indonesia yang lebih dulu mengalami maghrib dan selisih waktu Indonesia dan Arab Saudi yang 4 jam. Jika menunggu keputusan Arab yang baru mengalami maghrib setelah 4 jam (belum lagi adanya "sidang itsbat"), di Indonesia sudah lebih dari pukul 10 malam. Tentu saja, tidak setiap negara mempunyai penampakan hilal yang sama.

Pesan khusus dari Pak Cecep (semacam bocoran):
Alam demokrasi Indonesia sudah kebablasan. Media informasi secara 'bebas' menampilkan data-data yang sumbernya entah darimana. Oleh karena itu, pastikan sumber informasinya. Jangan sembarangan membaca informasi dari TV. Biasanya, TV tidak mengambil sumber dari Kementerian Agama. Bisa saja, semua sumber berasal dari Kementerian Agama. Padahal, Kementerian Agama sudah mengeluarkan kalender resmi, yaitu Kalender Taqwim Standar Indonesia.

Kalender ini insyaAllah sudah sesuai dengan apa yang akan menjadi keputusan sidang isbat nanti. Karena kelander ini berdasarkan hisab dan penentuan awal Ramadhan dan Syawal sudah menggunakan kriteria yang sama untuk kriteria hilal berdasarkan rukyat.

Pertemuan ditutup dengan majunya seorang anak kelas 1 SD (naik ke kelas 2) yang menampilkan gambar-gambar (sketsa) karyanya. Semua gambar itu bertemakan astronomi dan dia, anak kecil itu, mampu menerangkan beberapa fakta dan nama astronomis sebagai caption dari gambar itu! Hebat!

Pulang, saya mengambil jalan yang berlainan. Ketika gelap karena tak ada matahari, saya cukup kesulitan menentukan arah. Bahkan, di Jakarta, bangunan masjid belum tentu menghadap ke timur. Maka, saya mengingat-ingat setiap kali belok.

Resume

Tidak ada kata 'nyasar' di dalam kamus astro-traveling, yang ada: menemukan jalan lain. Mungkin perpindahan yang saya lakukan hanyalah 10 km. Tetapi jarak yang kutempuh bisa lebih dari 20 km. Menempuh jalan lain ketika pulang, saya hanya membutuhkan waktu 1 jam 20 menit. I think that was great.

Pada astro-traveling kali ini saya hanya mengeluarkan uang Rp7.000 dengan rincian Rp5.000 untuk membeli makan malam dan Rp2.000 sebagai pengganti biaya handout presentasi.

Setelah menuntut ilmu, setiap mereka mempunyai kewajiban ilmiah untuk membagi pengetahuan yang telah didapat. Dan, beginilah cara saya membaginya.

Mengakhiri malam, saya duduk di teras kosan dengan penerangan lampu neon, menghadap ke utara, di bawah langit Bintaro, dengan secangkir teh sambil membaca buku Personality Plus.


Salam hangat,


Astro-Traveler INDONESIA

Senin, 25 Juni 2012

Something Vacation: Jembangan Wisata Alam

Akhirnya kesampaian juga pergi ke Jembangan Wisata Alam (JWA). Bersama Wimcycle Roadchamp aku menelusuri pelosok kabupaten Kebumen. Kebumen saja sudah terpencil, bagaimana pelosoknya? But, kita lihat saja nanti. Aku pun belum pernah ke sana, baru dengar namanya dua minggu belakangan ini.

Dari pertemuan jalan lingkar luar utara dan timur Kebumen, di pertigaan Kawedusan, ke arah timur. Jalanan lurus dengan kanan-kiri sawah. Dari papan petunjuk yang ada di perempatan Kalijirek, jarak Wisata Alam Jembangan adalah 13 kilometer. Something long, but not far.

Setelah meninggalkan kecamatan Kebumen dan Alian menuju Kecamatan Poncowarno, jalan mulai berkelok dan bergelombang karena daratan yang berbukit-bukit. Untunglah aku menggunakan sepeda dengan 21 speeds, jadi tidak perlu turun dari sepeda untuk menaklukkan tanjakan yang cukup terjal dan panjang (haha). Apalagi Roadchamp ini merupakan tipe mountain bike (MTB).

Jalanan cukup sepi, tapi sekalinya ada kendaraan selalu berkecepatan tinggi. Di jalanan ini aku sering melepas kedua tangan dari handle-bar (setang sepeda). Merentangkan tangan dan menerpakan badan pada angin sawah. Merasakan damainya angin pedesaan. Mata menikmati alam hijau bukit dan sawah. Something peace.

Sebagian dari isi otak laki-laki adalah peta. Meski daerah ini asing bagiku, dengan melihat papan petunjuk saja, aku bisa sampai ke sana. Papan petunjuk yang ada di setiap persimpangan jalan lebih dari cukup untuk membawa calon turis menuju destinasi wisatanya. Maka, tak perlu bertanya pada orang-orang di sepanjang jalan, Kawan bisa langsung sampai di tujuan.

Jalan yang mengular membuatku kehilangan jejak arah mata angin. Untungnya, aku sampai di lokasi sesaat sebelum waktu dzuhur. Aku menguji kepantasanaku sebagai owner sekaligus founder blog Astro-Traveling INDONESIA. Kali ini aku akan benar-benar berpraktik menentukan arah kiblat hanya berpedoman pada jam dan sedikit pengetahuan (tentu saja).

Aku mengingat-ingat waktu tengah hari, yaitu waktu tepat saat matahari berkulminasi atas (berada di titik paling tingginya), yang kiranya akan terjadi di antara pukul 11.40-11.50. Karena pada tanggal ini matahari masih berada di belahan bumi utara, bayangan terpendek suatu benda akan mengarah ke selatan benar. Aku mendapatkan arah selatan; kudapatkan pula tiga arah utama yang lain: barat, utara, timur. Nah, arah kiblat dari Kebumen itu ada di sekitar 25 derajat ke kanan (utara) dari arah barat. Untuk sudut 25 derajat, ya cukup dikira-kira saja. Tidak ada keharusan untuk akurat menghadap Ka'bah bagi orang-orang yang jauh dari Mekkah. Cukup mengarah ke sana saja.

Arah kiblat hasil pengamatanku ini kucocokkan dengan mushola yang beberapa saat kemudian kutemukan dengan keadaan yang lusuh memprihatinkan. Yah, kurang lebih sama lah arah kiblatnya. Musholanya sangat tidak representatif, menurutku, sebagaimana biasa tempat ibadah di lokasi wisata. Seadanya saja. Tempat wudu dan toiletnya sangat jauh dari kata terjaga, apalagi bersih. Aku sangat sensitif terhadap hal semacam ini. Maka, aku lebih memilih bersuci di air aliran induk Waduk Wadaslintang yang mirip danau ini.
:
Jembangan Wisata Alam ini menawarkan perbukitan sebagai latar belakang pemandangan. Fokus utamanya adalah aliran induk dari Waduk Wadaslintang yang mengalir perlahan. Perairan yang luas ini memang mirip danau kecil. Kombinasi perbukitan (terlalu berlebihan jika aku menyebutnya pegunungan), air melimpah yang mengalir, hawa sejuk, pepohonan yang hijau, sinar matahari yang teduh, dan sangat jauh dari hiruk pikuk keramaian adalah sumber daya tarik pengunjung.

Aku tak membahas soal kuliner dan tetek bengeknya. Selain karena aku hanya membawa uang kas sebesar Rp4.000 (iya, benar hanya ini uang bawaanku).
:
JWA ini berseberangan dengan Bendungan Pejengkolan. Aku ingin ke sana, tapi tidak tahu jalan menuju ke sana. Keluar dari pintu gerbang JWA, aku dapat melihat loket tiket. Aku melihat harga tiket masuk JWA hanya sebesar Rp3.000 per orang. Tadi aku tidak masuk pintu ini. Si Roadchamp ini bisa diajak menelusupi jalan-jalan kecil yang sebenarnya off-road, jadilah aku masuk area JWA tidak melalui pintu semestinya.

Ketika beberapa puluh meter di luar gerbang JWA aku melihat jalan setapak yang menurun dan sepertinya mengarah ke bendungan. Tidak ada salahnya mencoba. Instingku mengatakan, pasti ditemukan kepuasan ketika mencoba berkunjung ke tempat asing. Maka, aku menuruni jalan setapak berkelok yang lebarnya hanya sekitar setengah meter. Asyik juga, serasa sedang downhill. Serius! Adrenalin terpacu. Jalan setapak terus menurun: panjang dan curam. Dan, begitu keluar dari lebatnya pepohonan pekarangan, aku sampai di sisi barat bendungan. Luar biasa, menemukan jalan pintas tanpa sengaja. Aku menuju bendungan.

Di salah satu tepian (sebelah Aliran Induk Wadaslintang Timur), ada bivak-bivak [KBBI: bivak adalah pondok (tempat bermalam) sementara di tengah hutan dsb (bagi tentara dsb)] dari mantel hujan di antara pepohonan yang rindang. Rasa ingin menjalari urat syarafku. Mungkin sedang ada pengukuhan anggota kelompok pecinta alam. Aha! Sepertinya suatu saat aku perlu mencobanya. Solo-camping dengan bivak dalam rangka pengukuhan diri sebagai founder Astro-Traveling INDONESIA.

Setelah berjalan melewati samping kapling bivak-bivak, aku menuju sebuah bangunan itu (entahlah, aku tak memastikan instansi apa itu). Dan, sekilas aku melihat jaket yang familiar. Jaket almamater SMA! Lalu, samar-samar aku melihat seseorang yang kukenal.

Ya Allah, di sudut jauh Kebumen, di tempat yang sangat terpencil ini, aku masih menemukan seseorang yang kukenal! Dia satu almamater SMA yang juga tetangga satu pedukuhan! Alamak. Aku hanya melihatnya; dia tak melihatku (mungkin), jadilah aku tak menemuinya. Aku segera memalingkan diri darinya. Karena, aku tak mencari seseorang. Tapi, aku mencari kesunyian yang sama frekuensinya dengan kesunyian hatiku.

Bahkan aku sedang pergi dari siapa pun yang mengenalku. Atau, jangan-jangan aku sedang berusaha pergi dari diriku sendiri? Yang jelas, aku sedang butuh menyendiri. Pergi ke tempat asing ini, mungkin aku sedang mencari diriku sendiri, sebagian diriku yang hilang, ataupun bagian diriku yang belum yang kutemukan.

Kesimpulan

Pergi ke Jembangan ini, aku hanya kehilangan dua buah baut slebor belakang. Satu hilang saat berangkat, satu hilang saat pulang. Dan aku hanya mengeluarkan uang senilai Rp2.000 yang kubelanjakan untuk sebotol air mineral; itu pun ketika aku pulang dan sudah sampai di pinggiran kota.

Bagaimanapun, Kebumen mempunyai 'bakat' lahir berupa keindahan alam. Frase "wisata alam" yang menyertai nama desa "Jembangan" hanyalah label, karena hampir semua desa di Kebumen (terutama yang pelosok) sebenarnya bisa dijadikan tempat wisata dan, tentu saja, menjadi bagian dari destinasi Astro-Traveling INDONESIA.

Beberapa hal yang kusadari tidak tepat dalam perjalanan kali ini adalah waktu berangkat yang kesiangan, tidak membawa bekal makanan (terutama minuman), dan justru membawa laptop.

Dalam sebuah buku yang indah dan bermanfaat, La Tahzan, dianjurkan untuk sesekali melakukan perjalanan, mengunjungi tempat-tempat asing, pemandangan alam hijau yang terdengar air bergemericik, untuk menghilangkan kejenuhan dan menyaksikan keindahan ciptaan Tuhan. Sesekali membaca buku di alam terbuka merupakan kegiatan yang sangat istimewa namun sederhana. Apalagi, bermunajat dengan Tuhan dengan membaca kitab yang tiada keraguan di dalamnya. Kebetulan hanya mushaf inilah buku yang kubawa. Maka, kubacalah ia.

Sebenarnya aku ingin menghidupkan laptop dan menulis di alam terbuka. Banyak inspirasi menggoda-goda untuk ditulis. Tapi aku urung; terlalu riskan. Aku hanya mencatat beberapa kata yang penting pada hape butut. Hmmm, sepertinya perlu memiliki typewriter yang transportable. Sayangnya, hape-ku belum mencukupi untuk menulis lebih banyak daripada catatan pendek. (Kapan ya bisa beli? Hiks. Doakan ya, Kawan!)

Sayangnya juga, aku tak punya kamera yang memadai untuk mendokumentasikan perjalanan (doakan juga akan aku bisa segera punya ya!). Kiranya, tulisan ini cukup bisa mewakili untuk tetap memberikan manfaat adanya.

Tapi sungguh, air mengalir yang melimpah ruah, rumput-rumput ramah, tanah-tanah basah, pepohonan yang hijau, amat menenteramkan. Hal-hal yang sederhana itu cukup mewakili gambaran keindahan di sini. Lalu hati ini didera rindu dan penasaran: seperti apa ya telaga Kautsar?
Dan,

Tiada tempat bersembunyi dari bayang-bayang sendiri kecuali kegelapan. Maka, melangkahlah menuju cahaya dan biarkan bayang-bayang mengikuti di belakang dengan terseok-seok yang memayahkan.

Salam hangat dari Kebumen,

Astro-Traveler INDONESIA

Senin, 18 Juni 2012

Mengejar Matahari: Menentukan Arah

Kembali lagi bersama Astro-Traveling INDONESIA. Kali ini kita akan membahas tentang bagaimana menentukan arah hanya dengan melihat matahari, wabil khusus ketika matahari itu terbit (dan terbenam). Ini penting dan dasar bagi para astro-traveler (sebenarnya penting dan dasar juga bagi setiap manusia). Sedih rasanya jika mendengar seseorang yang tidak peduli dengan arah mata angin di mana dia berdiri.

For your information, orang Jawa mempunyai kecenderungan untuk menggunakan nama mata angin sebagai penunjuk arah. Misalnya, ketika kawan bertanya di mana rumah Budi, biasanya orang akan menjawab, "Anda berjalan menuju UTARA sampai ada pertigaan. Belok ke arah TIMUR sampai ketemu pos ronda. Ada gang, masuk ke UTARA. Nah, rumah yang kelima mengharap ke BARAT itulah rumah Budi."

Petunjuk ini lebih dari cukup untuk menemukan rumah Budi, tapi masalah satu-satunya muncul dari si penanya sendiri. Dia tidak mengerti arah mata angin di tempat itu karena tempat itu asing baginya.

Maka, belajar menentukan arah penting bagi kita. Oke, langsung saja kita mulai pembahasan kali ini. Catatan pentingnya adalah: dalam menentukan arah, kita tidak berfokus pada akurasi. Kenapa? Karena kita bukan pilot. Dan, perhitungan yang akan kita lakukan hanya menggunakan otak kita saja, tanpa bantuan apapun.

Pengetahuan awal yang kita butuhkan adalah tanggal dan posisi matahari ketika terbit. Maksudnya di sini, kita gunakan saja posisi terbit matahari yang khusus. Yaitu, matahari terbit pada arah 090 atau tepat di arah timur (ingat jurusan tiga angka) pada tanggal 21 Maret dan 23 September (umumnya; anggaplah demikian). Terbit pada 113,5 (23,5 LS) saat 22 Desember, dan arah 066,5 (23,5 LU) terjadi pada 22 Juni.

Nah, berpindahnya matahari dari garis khatulistiwa sampai titik paling selatannya (-23,5 derajat) membutuhkan waktu dari 23 September sampai 22 Desember. Itu artinya matahari bergerak secara semu menuju winter solstice (titik balik selatan; titik musim dingin di belahan bumi utara) dengan kecepatan 23,5 derajat dalam 90 hari (atau 91,25 hari rata-rata). Maka, matarahi berpindah sekitar 0,258 derajat lintang setiap harinya dalam gerak semu tahunannya.

So? Misalnya, pagi tadi kita jogging. Di hari Jumat yang berkah ini, hari yang ke-8 di bulan Juni, kita memulai pagi dengan berolahraga. Sungguh luar biasa, seluruh puji akan kita haturkan kepada Sang Pemilik Alam ketika melihat matahari merekah di horizon sebelah timur. Di sebelah timur, tepatnya di mana sih matahari terbit hari ini pada jurusan tiga angka?

Di bulan Juni, matahari akan mendapati titik paling utara yang bisa dicapainya, tepatnya tanggal 22 Juni. Itu artinya, 14 hari lagi matahari akan berada di titik 23,5 derajat lintang utara. Maka, hari ini matahari terbit pada kira-kira 20 derajat lintang utara (23,5-(0,25*14)).

Hal yang perlu diingat adalah bahwa sudut 070 (atau 20 LU) merupakan sudut yang dibentuk oleh posisi matahari terbit, pengamat yang berada di garis khatulistiwa, dan titik utara (000). Untuk mendapatkan jurusan tiga angka dari posisi kita berdiri, cukup DITAMBAHKAN dengan derajat lintang di mana kita berdiri. Misalnya, hari ini kita berada di 5 derajat LU, matahari berada pada jurusan 070+5=075. Jika hari ini kita berada di 5 derajat LS, maka matahari itu bagi kita mempunyai jurusan tiga angka: 070+(-5)=065. Ingat, lintang selatan adalah lintang negatif.

Kita harus mengejar matahari pagi untuk menentukan arah. Maka, bangunlah pagi-pagi. Setelah itu, lakukan prosedur perhitungan itu. Anggap saja, untuk kemudahan, kita bulatkan saja rata-rata perpindahan matahari perharinya sebesar 0,25 derajat.

Setelah tahu jurusan tiga angka untuk matahari terbit, kita bisa mengira-kira 4 arah kardinal yang utama: Utara, Timur, Selatan, dan Barat.

Note: Sungguh, ini perhitungan sangat kasar, terutama karena tidak diperhitungkan posisi lintang pengamat. Asumsinya, pengamat ada di Indonesia. Untuk itu tidak juga dilakukan konversi dari tata koordinat ekuator ke dalam tata koordinat horizon yang mana tidak memungkinkan untuk dilakukan dengan otak saja. Cara ini hanya dibutuhkan untuk menunjukkan arah, tidak untuk keperluan akurasi dalam menentukan koordinat suatu benda maupun tempat. Toleransi akurasi masih relevan untuk lintang rendah (sekitar khatulistiwa). Maka, cara ini cukup kompeten untuk wilayah Indonesia (namanya saja Astro-Traveling INDONESIA!).

Salam hangat,

Astro-traveler INDONESIA

Rabu, 30 Mei 2012

Penampakan Bulan dan Menentukan Tanggal

Bulan sabit itu ada dua, bulan sabit muda dan bulan sabit tua. Dalam hal penampakan, keduanya sekilas terlihat sama. Tentu saja ada bedanya. Tapi rasanya terlalu sulit jika dilihat hanya sepintas. Jika hanya untuk keperluan mengetahui bulan sabit yang tampak itu sabit muda atau sabit tua, sebaiknya digunakan cara yang paling sederhana dan mudah saja.
Sumber Gambar: wikipedia.org


Just so you know, cara yang cukup ribet adalah dengan menghitung luas penampang bulan. Dengan menggunakan matematika sederhana, yaitu membandingkan luas piringan bulan yang bercahaya dengan luas piringan bulan secara utuh, kita dapat mengetahui umurnya. Sisi sulitnya adalah menghitung luas piringan bulan yang memantulkan cahaya itu.

Saya tahu Kawan cukup malas belajar tentang penghitungan luas bidang yang melibatkan bentuk oval itu. Apalagi saya berjanji bahwa pada Astro-Traveling INDONESIA ini hanya akan dibahas aplikasi dari astronomi yang sederhana saja. Baiklah kalau begitu. Itu tadi hanya sebatas just so you know. Mari langsung saja kita bahas metode kedua.

Pada metode ini Kawan harus memperhatikan posisi (ketinggian) bulan saat matahari terbenam. Bulan baru akan berada pada posisi yang sangat dekat dengan piringan matahari saat terbenam sehingga biasanya kita kesulitan untuk melihatnya, apalagi dengan mata telanjang. Tapi tenang saja. Secara teori, bulan sabit berumur 1 hari akan terlihat pada ketinggian sekitar 12 derajat di atas horizon saat matahari terbenam. Dengan asumsi bahwa dalam satu bulan ada 30 hari, maka posisi bulan saat matahari terbenam akan menjauh (meninggi ) sebesar 12 derajat per hari (Ingat 360:30=12).

Nah, seberapa tinggi 12 derajat itu pada kubah langit? Sebelumnya, kawan bisa mengkonversi satuan derajat ke dalam satuan waktu. Benda langit melintasi langit (dalam gerak semu hariannya) dengan kecepatan 1 derajat per 4 menit. Perlu dijabarin darimana angka ini? Come on! Ini matematika sederhana anak SMP. Dalam 24 jam, benda langit melintasi 360 derajat. Jadi, 15 derajat per jam. Then, 1 derajat dalam 4 menit.

Get it? Anak pintar!

Kembali ke bulan tadi. Jadi, 12 derajat adalah jarak busur yang mampu ditempuh benda langit dalam waktu 48 menit.

Sekarang kita tes dengan sebuah pertanyaan. Pukul berapakah bulan berumur 5 hari akan terbenam?

Oke, langsung saja jawabannya adalah 5*48 menit, yaitu 240 menit atau 4 jam. Maka, bulan itu akan terbenam pada pukul 10 malam.

Nah, sekarang kita balik. Jika bulan terbenam pada pukul 10 malam, tanggal berapakah malam itu? haha, tentu saja tanggal 5! Nah, dari sinilah kita bisa menentukan tanggal dari melihat penampakan bulan dan posisinya ketika matahari terbenam.
Sumber Gambar: Wikipedia.org

Ehem, kembali ke bulan sabit muda dan tua. Tentu saja, bulan sabit muda adalah Bulan pada tanggal-tanggal awal dari bulan Hijriah (juga bulan pada kalender Saka atau Jawa). Sebutlah misal kita mengklasifikan bulan sebagai bentuk sabit muda sampai pada tanggal 5 pertama dan bulan sabit tua untuk 5 tanggal terakhir. Maka, pada MALAM hari, bulan sabit MUDA hanya terlihat di sepertiga malam yang PERTAMA. Sebaliknya, bulan sabit TUA akan terlihat pada sepertiga malam yang AKHIR. Cukup mudah diingat bukan?

Perlu di ketahui juga, bulan purnama sebagai bulan yang berusia setengah baya, akan terlihat sepanjang malam.

Hampir-hampir, perangai bulan itu seperti tabiat manusia. Mereka yang masih muda, hanya menggunakan malam di awal-awal waktu, di sisa malam mereka tidur. Orang-orang yang sudah cukup tua, mereka akan menyadari pentingnya untuk terjaga pada sepertiga malam yang akhir. Nah, mereka yang masih menjelang dewasa, di umur pertengahan, seringkali begadang sepanjang malam.

Benar-benar mirip perangai manusia ya?

Salam hangat,

Astro-traveler Indonesia

Senin, 28 Mei 2012

Menentukan Arah Kiblat

Seandainya tiba-tiba kita terlempar ke suatu masa dan tempat di mana teknologi modern tidak ada, jangan bingung untuk menentukan arah dan waktu. Khususnya ketika datang kewajiban bagi muslimin untuk menunaikan ibadah sholat.

Masa kini memang telah memanjakan manusia dengan kemudahan-kemudahan. Dan, mau tak mau harus menerima efek samping dari teknologi yang semakin modern itu: candu dengan semua yang serbainstan. Ketika ingin mengetahui waktu, kita tinggal lihat jam. Ingin tahu arah, kita lihat kompas. Efek sampingnya adalah manusia lupa dengan cara menentukan waktu dan arah dengan melihat pertanda alam. Mungkin terdengar kuno, tapi ini adalah suatu ilmu yang mendasar dan suatu waktu menjadi urgen jika tiba-tiba teknologi lenyap seketika (mungkinkah? Mungkin saja).

Bertepatan dengan tanggal 28 Mei 2012 ini matahari akan menjadi begitu istimewa, blogpost kali ini akan membahas tentang menentukan arah kiblat (arah sholat) dengan bantuan matahari. Secara tidak langsung, bahasan ini sangat penting bagi para astro-traveler sekalian. Monggo disimak.

Sebanyak dua kali dalam setahun, matahari melintasi zenit Masjidil Haram (Ka'bah). Pada saat itu, matahari tepat berada di atas Ka'bah. Keadaan ini menjadikan seluruh bayangan benda di belahan bumi yang sedang mendapati siang (alhamdulillah, Indonesia memang beruntung secara astronomis untuk selalu mendapatinya) tepat mengarah ke Masjidil Haram (Ka'bah, kiblat sholat).

Hari ini, tanggal 28 Mei 2012, matahari akan berada tepat di zenit kota Makkah ketika di Indonesia sedang menunjukkan pukul 16.18 WIB. Kota Makkah terletak di 21 derajat 25' LU. Untuk itu, syarat agar matahari tepat berada di atas Ka'bah, matahari harus memiliki deklinasi yang sama. Keadaan ini terjadi pada hari ini dan pada tanggal 16 Juli 2012 pukul 16.27 WIB.

Berhubung momen istimewa ini sangat berguna bagi ibadah kita, tentu sebaiknya kita'menangkap' momen ini. Tujuannya adalah untuk mendapatkan arah kiblat yang benar dan terdokumentasi.
Sumber foto: bersamadakwah.com

Oke. Seperti terlihat pada gambar. Tegakkan tiang lurus di atas tanah. Ketika moment itu terjadi, buatlah  tanda berupa garis lurus mengikuti bayangan yang tercipta. Lalu abadikanlah. Bisa dengan mempermanenkan tanda itu (dengan disemen misalnya, juga difoto). Berpedoman pada hasil ini, mulailah kita menggunakannya sebagai arah kemana saat kita berdiri menyembah-Nya.

Benar bahwa kita yang tinggal jauh dari Masjidil Haram tidak dituntut untuk menghadap Ka'bah secara akurat dan presisi. Namun, ketika ilmu bisa memfasilitasinya, bukankah itu lebih baik?

Astro-traveler Indonesia

Mengenal Astro-Traveling INDONESIA

Astro-traveling merupakan penerapan astronomi praktis ke dalam traveling (bepergian, safar). Ini merupakan ide saya sendiri untuk menggabungkan astronomi dengan traveling. Maka, mungkin astro-traveling adalah satu-satunya yang ada di INDONESIA dari beberapa bentuk traveling. Sebutlah misal bentuk-bentuk traveling yang umum antara lain backpacking, exploring, adventuring, dan lain-lain.

Untuk lebih mengenal tentang astro-traveling dengan seterang-terangnya, sebaiknya kita mengupasnya dengan 'pisau' yang paling lengkap dan tajam, yakni kombinasi 5W+1H.
Logo

What
Tentang penerapan sderhana ilmu astronomi praktis pada kehidupan, khususnya untuk traveling. Seperti mengembalikan ilmu astronomi pada penerapan yang paling kuno, yaitu sebagai penunjuk arah. Bukankah bintang-bintang diciptakan untuk tiga hal ini: melempari setan, hiasan langit, dan penunjuk arah?

Apa urgensinya? Kawan, ke mana pun kita pergi, langit akan selalu di atas kita. Maka, jangan pernah sombong untuk tidak melibatkan langit dalam kehidupan kita. Karena langit beserta isinya itu diciptakan bukan untuk kesia-siaan.

Maka, mari kita mulai melibatkan langit dalam kita ber-traveling.

Who
Siapa saja yang bisa melakukan astro-traveling? Tentu saja, siapapun. Ya, siapapun kita dapat melakukannya. Tidak harus mereka yang telah paham tentang langit.

Nah, untuk itu, kita perlu nama untuk mereka yang suka dengan astro-traveling. Astro-traveler, travelastronist, atau travelastroner? Kiranya, yang paling familiar adalah astro-traveler. Yah, kalaupun akan disebut dengan istilah umum, saya ingin menyebut diri sebagai musafir.

When
When? Whenever! Ya, kapan pun. Siang maupun malam. Kemarau maupun penghujan. Musim semi, panas, dingin, gugur. Sejak fajar hingga fajar kembali.

Where
Where? Everywhere. Di mana pun. Maka, astro-traveling tidak menekankan pada seberapa panjang rute yang telah ditempuh, seberapa luas daerah yang telah dijelajahi, seberapa debu yang telah kita pijaki. Astro-traveling bukan tentang bepergian dalam artian yang berlebihan. Astro-traveling mengutamakan definisi sederhana tentang bepergian, yaitu berpindah tempat. Meski hanya berpindah dari suatu tempat ke sekitar tempat semula dalam radius yang kecil pun, itu telah menjadi bagian dari definisi astro-traveling.

Jadi, dalam astro-traveling tidak dikenal yang namanya memprioritaskan mengunjungi tempat-tempat wisata yang popular (apalagi mahal) di mata khalayak. Sekali lagi, astro-traveling ini merupakan traveling yang sederhana.

Which
Yang sederhana. Yang memindahkan diri tidak hanya dalam hal tempat, tetapi termasuk di dalamnya adalah berpindahnya spiritualitas, wawasan, dan sikap menuju keadaan yang leibh baik.

How
Tentu saja, astro-traveling membutuhkan pengetahuan astronomi dalam bepergian. Tapi tenang saja, lagi-lagi, pengetahuan astronomi yang sederhanalah yang kita gunakan. Seperti misalnya tentang penggunaan kalender yang berbasis pergerakan bulan, melihat matahari sebagai penunjuk jam, memetakan bintang sebagai penunjuk jalan. Namun, pada intinya adalah  timbal balik dari belajar dan menerapkan astronomi dalam perjalanan. Jadi, dari perjalanan kita dapat belajar astronomi, dan sebaliknya, dari astronomi kita bisa menerapkannya untuk bepergian.

Dan, yang paling penting dari traveling ini adalah semua modal untuk menjadi bagian dari Astro-Traveling INDONESIA telah kita miliki. Modal itu telah ada bersamaan dengan lahirnya kita di dunia ini. Apa itu? Mata untuk melihat keagungan-keagungan penciptaan. Telinga untuk mendengar setiap dendang alam. Otak untuk mencerna setiap makna kejadian di semesta. Kaki untuk menjelajah setiap inci bumi yang terhampar. Tangan untuk membuat semuanya menjadi lebih bermanfaat. Dan lain-lain.

Astro-Traveling INDONESIA
Keterlibatan 'INDONESIA' pada astro-traveling ini adalah sebuah keberuntungan bahwa Indonesia mempunyai bakat alamiah pada langit dan buminya.

Demikianlah perkenalan pertama Astro-Traveling INDONESIA. Pada kesempatan selanjutnya, kita akan semakin mengenal, tumbuh bersama, dan saling memberi.

Salam hangat,

Astro-traveler Indonesia

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More